FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN
A.
PENGERTIAN
FILSAFAT
Kata
filsafat, yang dalam bahasa arab di kenal dengan istilah falsafah dan
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy adalah berasal
dari bahasa Yunani philosopia yang merupakan gabungan dua kata: philo dan sophia. Philo berarti cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan (yang
mencakup pengetahuan, keterampilan, pengalaman, inteligensi). Jadi filsafat
berarti mencintai kebijaksanaan (Zaprulkhan, 2012: 15). Namun dalam konteks yunani klasik,
makna istilah sophia tersebut bukan
hanya kebijaksanaan dalam pemahaman kita hari ini yang terkadang bersifat
parsialistik. Para bijak bestari dari Yunani klasik dahulu, memakanai sophia bukan hanya kebijaksanaan atau
kearifan saja, melainkan juga meliputi mengenal kebenaran pertama atau Tuhan,
pengetahuan luas, kebijakan intelektual, pertimbangan yang sehat sampai
keterampilan, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan persoalan-persoalan
praktis.
Kecintaan
pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya
segala upaya pemikiran untuk selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana
di dalamnya mengandung dua makna yaitu baik dan benar, baik adalah sesuatu yang
berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi
sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian
berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan
kebenaran, berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir
secara radikal sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berfilsafat mengandung
kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau
berfilsafat (Suharsaputra, 2004: 19).
Pandangan
para ahli tentang definisi filsafat
di antaranya sebagai berikut.
1. Socrates (469-399)
Socrates
mendefinisikan filsafat sebagai suatu peninjauan yang bersifat reflektif atau
perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia. Melihat
makan filsfat yang dikonstruksi oleh socrates, tidak berlebihan jika ia
mengeluarkan statement: bahwa kehidupan tak teruji dan tak pernah
dipertanyakan, merupakan kehidupan yang tidak berharga.
2. Plato (427-347)
Plato
memandang filsafat sebagai visi, yaitu visi tentang kebenaran. Namun, visi ini
dalam prespektif plato bukan hanya semata-mata bersifat intelektual dan bukan pula
sekedar kebijaksanaan; melainkan cinta terhadap kenijaksanaan. Bagi plato,
filsafat bukan hanya wilayah kajian intelektual, tetapi jug apengetahuan
spiritual atau pencerahan intuitif.
3. Aristoteles (384-322)
Aristoteles
mengetengahkan bahwa filsafat berurusan dengan penelitian sebab-sebab dan
prinsip-prinsip segala sesuatu. Dalam arti ini, filsafat kelihatan identik
dengan totalitas pegetahuan manusia
4. Friedrich Hegel (1770-1831)
Friedrich
Hegel mendefinisikan filsafat sebagai penyelidikan hal-hal dengan pemikiran dan
perenungan.
5. Bertrand Russel (1872-1970)
Bertrand
Russel menganggap filsafat sebagai suatu
kritik terhadap pengetahuan, karena filsafat memeriksa secara kritis asas-asas
yang dipakai dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari-hari, dan mencari sesuatu
ketakselarasan yang dapat terkandung dalam asas-asas itu.
6. Theodore Brameld
Theodore
Brameld merumuskan filsafat sebagai usaha gigih dan orang-orang biasa maupun
orang-orang cerdik pandai untuk membuat kehidupan sedapat mungkin dapat
dipahami dan bermakna.
7. Harold H. Titus
Tokoh
ini merumuskan filsafat sebagai suatu proses perenungan dan pengkritisan
terhadap keyakinan-keyakinan kita yang dianut paling dalam.
8. Louis O. Kattsoff
Filsafat
merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai
suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut
pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan.
B. CIRI-CIRI BERPIKIR FILSAFAT
Dalam
Mustansyir dan Misnal (2004: 4) berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri
yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lain. Beberapa ciri berpikir kefilsafatan
dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Radikal
artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau
substansi yang dipikirkan.
2. Universal
artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan
berpikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
3. Konseptual
artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya
: Apakah seni itu? Apakah keindahan itu?
4. Koheren
dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir
logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik
artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Komprehensif
artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha
untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas
artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan
merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka
sosial, historis, kultural, bahkan religius.
8. Bertanggungjawab
artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus
bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati
nuraninya sendiri.
Kedelapan ciri berpikir kefilsafatan ini menjadikan
filsafat cenderung berbeda dengan ciri berpikir ilmu-ilmu lainnya, sekaligus
menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang keilmuan yang netral terutama
ciri ketujuh. Berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir
tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan
mendalam. Pada dasarnya manusia adalah Homo sapien, hal ini tidak serta
merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan
dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap
masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran
jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.
C.
OBJEK FILSAFAT
Objek filsafat adalah segala sesuatu yang maujud (sesuatu yang dapat diraba
dan dilihat) dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam
(radikal). Secara lebih sistematis para ahli membagi objek filsafat ke dalam
objek material dan obyek formal.
1. Objek material filsafat
Objek material adalah suatu yang
menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material
juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disoroti oleh setiap disiplin ilmu.
Objek material mencakup apa saja, baik hal konkret maupun abstrak. Ada beberapa
istilah dari para cendekiawan tentang objek material dalam filsafat, namun
semua itu tidak ada yang bertentangan (Surajiyo, 2005: 5).
a. Mohammad Noor Syam berpendapat bahwa
para ahli menerangkan objek filsafat itu adalah segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada, baik materiil konkret maupun nonmaterial abstrak, psikis.
Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, dan
nilai-nilai. Dengan demikian, objek filsafat tidak terbatas.
b. Poedjawijatna berpendapat bahwa objek
material filsafat adalah ada dan yang mungkin ada. Dapatkah dikatakan bahwa
filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu yang menyelidiki segala sesuatunya
juga. Dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang dimaksud adalah objek
materialnya sama dengan objek material dari ilmu seluruhnya.
c. H.A. Dardiri berpendapat, objek
material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran,
ada dalam kenyataan, maupun ada dalam kemungkinan
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
objek material filsafat sangat luas mencakup segala sesuatu yang ada.
2. Objek
formal filsafat
Objek formal adalah sudut pandang
yang ditunjukan pada bahan dari penelitian atau pembentunkan pengetahuan itu,
atau sudut dari mana objek material itu disorot. Objek formal filsafat yaitu
sudut pandangan yang menyeluruh secara umum sehingga dapat mencapai hakikat
dari objek materialnya. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut
pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya, objek
materialnya adalah “manusia” dan manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang
berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya
psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.
Oleh karena itu yang membedakan
antara filsafat dengan ilmu lainnya terletak dalam objek material dan objek
formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri,
sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun objek formalnya
membahas objek materialnya sampai ke hakikat esensi dari yang dihadapinya (Surajiyo,
2005: 7).
D. SISTEMATIKA FILSAFAT
Bidang-bidang kajian/sistimatika filsafat antara lain
adalah :
1.
Ontologi. Bidang
filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada (on
= being/ada; logos = pemikiran/ ilmu/teori).
2.
Epistemologi. Filsafat yang
menyelidiki tentang sumber, syarat serta proses terjadinya pengetahuan (episteme = pengetahuan/knowledge; logos =
ilmu/teori/pemikiran)
3.
Axiologi. Bidang
filsafat yang menelaah tentang hakikat nilai-nilai (axios = value; logos =
teori/ilmu/pemikiran)
Sementara itu
menurut Gahral Adian, pendekatan filsafat melalui sistematika dapat dilakukan dengan mengacu pada tiga
pernyataan yang dikemukakan oleh Immanuel
Kant yaitu :
1.
Apa yang
dapat saya ketahui?
2.
Apa yang dapat saya harapkan?
3.
Apa yang dapat saya lakukan?
Ketiga pertanyaan tersebut menghasilkan tiga wilayah besar
filsafat yaitu wilayah pengetahuan, wilayah ada, dan wilayah nilai. Ketiga
wilayah besar tersebut kemudian dibagi lagi kedalam wilayah-wilayah bagian yang
lebih spesifik. Wilayah nilai mencakup nilai etika (kebaikan) dan nilai estetika
(keindahan), wilayah ada dikelompokan
ke dalam ontologi dan metafisika, dan wilayah pengetahuan dibagi
ke dalam empat wilayah yaitu filsafat ilmu, epistemologi, metodologi, dan
logika. Lebih lanjut ketiga wilayah tersebut diskemakan sebagai berikut.
Gambar 1. Skema Wilayah Filsafat (Sumber: Suhasraputa,
2004)
E.
CABANG-CABANG FILSAFAT
Dengan memahami bidang-bidang kajian/sistematika filsafat,
nampak bahwa betapa luas cakupan filsafat mengingat segala sesuatu yang ada
dapat dijadikan substansi bagi pemikiran filsafat, namun demikian dalam
perkembangannya para ahli mencoba mengelompokan cabang-cabang filsafat ke dalam
beberapa pengelompokan sehingga nampak lebih fokus dan sistematis. Pencabangan
ini pada dasarnya merupakan perkembangan selanjutnya dari
pembidangan/sistematika filsafat, seiring makin berkembangnya pemikiran manusia
dalam melihat substansi objek material filsafat dengan titik tekan penelaahan
yang bervariasi. Berikut ini akan dikemukakan pendapat beberapa pakar tentang
cabang-cabang filsafat.
1. Plato (427-347 S.M) membedakan
lapangan atau bidang-bidang filsafat ke dalam:
a. Dialektika, yang mengandung persoalan
idea-idea atau pengertian-pengertian umum
b. Fisika, yang mengandung persoalan
dunia materi
c. Etika, yang mengandung persoalan baik
dan buruk
2. Aristoteles (382-322 S.M) berpendapat
bahwa filsafat dapat dibagi ke dalam empat cabang yaitu:
a. Logika, merupakan ilmu pendahuluan
bagi filsafat
b. Filsafat teoritis yang mencakup tiga
bidang: 1) Fisika, 2) Matematika, 3) Metafisika.
c. Filsafat praktis yang mencakup tiga
bidang yaitu 1) Etika, 2) Ekonomi, 3) Politik.
d. Poetika (kesenian)
3. Al Kindi membagi filsafat ke dalam
tiga bidang yaitu:
a. Ilmu Thabiiyat (Fisika), merupakan
tingkatan terendah
b. Ilmu Riyadhi (matematika), merupakan
tingkatan menengah
c. Ilmu Rububiyat (Ketuhanan), merupakan
tingkatan tertinggi
4. Al Farabi membagi filsafat ke dalam
dua bagian yaitu :
a. Filsafat Teori meliputi matematika, fisika,
dan metafisika.
b. Filsafat praktis meliputi etika dan
politik
5. H. De Vos menggolongkan filsafat ke
dalam:
a. Metafisika (pemikiran di luar
kebendaan)
b. Logika (cara berfikir benar)
c. Ajaran tentang Ilmu Pengetahuan
d. Filsafat Alam
e. Filsafat Kebudayaan
f. Filsafat sejarah
g. Etika (masalah baik dan buruk)
h. Estetika (masalah keindahan, seni)
i.
Antropologi
(masalah yang berkaitan dengan manusia)
6. Hasbullah Bakry (1978) menyatakan
bahwa di zaman modern ini pembagian/cabang filsafat terdiri atas:
a. Filsafat teoritis yang terdiri dari:
logika, metafisika, filsafat alam, filsafat manusia.
b. Filsafat praktis. Terdiri dari :
etika, filsafat Agama, filsafat kebudayaan
7. Prof.H.Ismaun (2000) membagi
cabang-cabang filsafat sebagai berikut:
a. Epistemologi (filsafat pengetahuan)
b. Etika (filsafat moral)
c. Estetika (filsafat seni)
d. Metafisika
e. Politik (filsafat
pemerintahan/negara)
f. Filsafat Agama
g. Filsafat pendidikan
h. Filsafat ilmu
i.
Filsafat
hukum
j.
Filsafat
sejarah
k. Filsafat matematika
8. Richard A. Hopkin. Membahas Filsafat
ke dalam tujuh cabang penelaahan yaitu:
a. Etics (etika)
b. Political Philosophy (filsafat politik)
c. Metaphisics
(metafisika)
d. Philosophy of Religion (filsafat Agama)
e. Theory of Knowledge (teori pengetahuan)
f. Logics
(logika)
9. Alburey Castell membagi filsafat ke
dalam:
a. Ketuhanan (theological problem)
b. Metafisika (methaphysical problem)
c. Epistemologi (epistemological problem)
d. Etika (ethical problem)
e. Politik (political problem)
f. Sejarah (historical problem)
10. Endang Saifuddin Anshori membagi
cabang-cabang filsafat sebagai berikut:
a. Metafisika yaitu filsafat tentang
hakekat yang ada dibalik fisika, tentang hakekat yang bersifat transenden, di
luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
b. Logika yaitu filsafat tentang pikiran
yang benar dan yang salah.
c. Etika yaitu filsafat tentang tingkah
laku yang baik dan yang buruk.
d. Estetika yaitu filsafat tentang
kreasi yang indah dan yang jelek
e. Epistemologi yaitu filsafat tentang
ilmu pengetahuan
f. Filsafat-filsafat khusus lainnya
seperti: filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama,
filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya.
Pencabangan filsafat sebagaimana tersebut di atas amat
penting dipahami guna melihat perkembangan keluasan dari substansi yang dikaji
dan ditelaah dalam filsafat, dan secara teoritis hal itu masih mungkin berkembang
sejalan dengan kemendalaman pengkajian terhadap objek materi filsafat
(Suhasraputra, 2004: 27-30).
F.
PENDEKATAN FILSAFAT
Upaya memahami apa yang dimaksud dengan filsafat dapat
dilakukan melalui berbagai pendekatan, secara umum, pendekatan yang diambil
dapat dikategorikan berdasarkan sudut pandang terhadap filsafat, yakni filsafat
sebagai produk dan filsafat sebagai proses. Sebagai produk artinya melihat
filsafat sebagai kumpulan pemikiran dan pendapat yang dikemukakan oleh filsuf,
sedangkan sebagai proses, filsafat sebagai suatu bentuk/cara berfikir yang
sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir filsafat.
Menurut Donny Gahral Adian (2002) dalam Suhasraputra
(2004: 31) terdapat empat pendekatan dalam melihat/memahami filsafat yaitu:
1. Pendekatan definisi
Dalam pendekatan ini filsafat dicoba
dipahami melalui berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dan dalam
hubungan ini penelusuran asal kata menjadi penting, mengingat kata filsafat itu
sendiri pada dasarnya merupakan kristalisasi/representasi dari konsep-konsep
yang terdapat dalam definisi itu sendiri, sehingga pemahaman atas kata filsafat
itu sendiri akan sangat membantu dalam memahami definisi filsafat. Melalui pendekatan definisi kita akan melihat bagaimana
perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan maupun teologi.
2.
Pendekatan sistematika
Pendekatan filsafat melalui
sistematika bertolak dari tiga pertanyaan Immanuel Kant, yaitu apa yang dapat
saya ketahui? Apa yang dapat saya harapkan? Apa yang dapat saya lakukan?
Ketiganya menghasilkan tiga wilayah besar filsafat yaitu wilayah pengetahuan,
ada, dan nilai.
a. Wilayah pengetahuan
Wilayah pengetahuan terdiri dari empat disiplin filsafat.
1) Epistemologi adalah cabang filsafat
yang mengkaji hakikat pengetahuan dari empat segi, yaitu sumber pengetahuan,
batas pengetahuan, struktur pengetahuan dan keabsahan pengetahuan.
2) Filsafat ilmu pengetahuan sebagai
cabang filsafat yang mengkaji ilmu pengetahuan dari segi ciri-ciri dan
cara-cara memperolehnya.
3) Logika sebagai cabang filsafat yang
mengkaji azas-azas berfikir secara lurus dan tertib.
4) Metodologi sabagai cabang filsafat
yang mengakaji metode-metode yang digunakan dalam dunia ilmiah.
b. Wilayah ada
Wilayah ada terdiri
dari dua disiplin filsafat.
Ontologi sebagai bidang
filsafat yang meneliti hakikat wujud/ada
1) Metafisika sebagai cabang filsafat
yang mengkaji semesta dibalik gejala-gejala empiris.
Garis demakarsi antara
ontologi dan metafisika dipertegas oleh seorang filosof jerman bernama
Christian Wolff yang mengemukakan bahwa ontologi berurusan dengan semesta
empiris sedangkan metafisika berurusan dengan semesta dibalik gejala-gejala
empiris.
c. Wilayah nilai
Wilayah nilai sebagai wilayah ketiga atau terakhir terdiri
atas dua disiplin filsafat yakni etika sebagai cabang filsafat yang
merefleksikan nilai-nilai moral dan estetika sebagai disiplin filsafat yang
merefleksikan nilai-nilai estetika.
3. Pendekatan tokoh
Pada umumnya para filsuf jarang
membahas secara tuntas seluruh wilayah filsafat, seorang filsuf biasanya
mempunyai fokus utama dalam pemikiran filsafatnya. Dalam pendekatan ini
seseorang mencoba mendalami filsafat melalui penelaahan pada pemikiran-pemikiran
yang dikemukakan oleh para filsuf yang terkadang mempunyai kekhasan tersendiri,
sehingga membentuk suatu aliran filsafat tertentu, oleh karena itu pendekatan
tokoh juga dapat dikelompokan sebagai pendekatan aliran, meskipun tidak semua
filsuf memiliki aliran tersendiri.
Berikut adalah beberapa filosof dengan aliran pemikiranya
masing-masing.
a.
Rene Descartes, Spinoza, dan Leibniz. Mereka adalah
pengusung aliran rasionalisme, sebuah aliran filsafat yang berpandangan bahwa
semua pengetahuan bersumber dari akal, bahwa akallah yang mampu menangkap ide tentang semesta
secara jernih dan gamblang.
b.
David hume, John Locke, dan Berkeley. Mereka adalah
pengusung aliran empirisme, sebuah aliran dalam filsafat yang menekankan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
c.
Immanuel Kant. Ia adalah pelopor aliran kritisisme,
sebuah aliran dalam filsafat yang pada dasarnya adalah kritik terhadap
rasionalisme maupun empirisme yang dianggap terlalu ekstrim dalam mengklaim
sumber pengetahuan manusia. Menurut kritisisme, akal menerima bahan-bahan yang
masih kacau dari pengalaman empirisme, lalu mengatur dan menertibkannya dalam
kategori-kategori, seperti kategaori ruang dan waktu.
d.
Hegel, Fichte dan Schelling. Mereka mengusung aliran
idealisme, sebuah aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa pengetahuan
adalah proses-proses mental ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subjektif.
e.
Nietzsche, Bergson dan Schopenhouer. Mereka mengusung
aliran vitalisme, sebuah aliran dalam filsafat yang memandang hidup tidak
sepenuhnya dijelaskan secara fisika. Manusia memiliki kehendak kreatif yang
mampu mengubah dirinya sekaligus semesta secara dinamis.
f.
Edmund Husserl, Martin Heideggerr, dan Merleau Ponty.
Mereka mengusung aliran fenomenologi, sebuah
aliran filsafat yang mengkaji penampakan atau fenomena yang mana antara
fenomena dan kesadaran tidak terisolasi satu sama lain melainkan selalu
berhubungan secara dialektis.
4. Pendekatan sejarah
Pendekatan ini berusaha memahami
filsafat dengan melihat aspek sejarah dan perkembangan pemikiran filsafat dari
waktu ke waktu dengan melihat kecenderungan-kecenderungan umum sesuai dengan
semangat zamannya, kemudian dilakukan periodisasi untuk melihat perkembangan
pemikiran filsafat secara kronologis.
Pembagian sejarah filsafat secara konvensional dapat
dibagi menjadi enam tahapan. Keenam tahapan tersebut antara lain:
a.
Yunani Kuno (± 600 SM)
Periode ini ditandai oleh pergerseran pemikiran dari
mitos ke logos. Penjelasan-penjelasan mitis yang berdasarkan kepercayaan
irasional tentang gejala-gejala alam bergeser pada penjelasan logis yang
berdasarkan rasio. Filosof-filosof alam mulai mencari penjelasan rasional atas
prinsip dasar yang melandasi gejala-gejala alam terselubung kabut mitis. Para
filosof alam mulai menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan tentang azas
pertama (arkhe) dan prinsip yang
mengatur alam semesta.
Thales (hidup sekitar tahun 585 SM) misalnya mengatakan
air adalah arkhe dari alam semesta,
alasanya aadalah air dapat mengambil berbagai macam wujud dan keabsahan (moist) dianggap sebagai kehidupan itu sendiri yang
selalu bergerak. Air diyakini oleh thales sebagai dasar terbentuknya alam
semesta. Para filosof alam lain yang juga mengembangkan pemikiran tentang
Kosmos (alam) antara lain : Anaximander (610-547 SM) dan Anaximenes (sekitar
546 SM). Apa yang para filosof alam lembangkan sebenarnya merupakan cikal bakal
disiplin ilmu fisika.
b.
Abad pertengahan (300-1300 SM)
Pemikiran abad pertengahan bercirikan teosentris
(berpusat pada wahyu Tuhan). Para filosofis rohaniawan seperti Thomas Aquinas
(1225-1274), dan St. Bonaventura (1221-1257) adalah rohaniawan-rohaniawan yang
hendak merekonsiliasi akal dan wahyu. Kebenaran wahyu mereka buktikan tidak
berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan akal. St Augustinus (1354-1430) bahkan
tidak percaya akan kekuatan akal semata dalam mencapai kebenaran. Kebenaran
utama adalah kebenaran teologis yang termaktub dalam wahyu Tuhan. Manusia tidak
mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa ilmunasi kebenaran ilahi.
Upaya para filosof-rohaniawan untuk merekonsiliasi iman
dan akal juga tidak banyak membawa hasil. Di masa ini pertentangan
antara wahyu dan akal bahkan semakin menajam dan cenderung mengeras. Bayak
sekali ilmuwan-ilmuwan yang dieksekusi karena mewartakan kebenaran ilmiah yang
tidak sesuai dengan wahyu. Ilmu pengetahuan pun menjadi surut perkembangannya.
c.
Filsafat Modern (Abad
17-19)
Sepuluh abad
lamanya pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan berdasarkan rasio direpresi
oleh kebenaran teologis yang berdasarkan iman. Tendensi ini biasa disebut
dengan “fideisme”, ketaatan buta pada iman. Renaisans yang berarti terlahir
kembali muncul untuk membebaskan manusia dari belenggu teologis. Munculnya Renaisans tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari sumbangan para filosof Islam dalam menterjemahkan
karya-karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya terjemahan itulah
yang nantinya dipelajari oleh dunia barat hingga memunculkan suatu gerakan
reformasi yang dinamakan Renaisans. Renaisans kemudian diikuti oleh masa
pencerahan (aufklarung) menjadi titik tolak modernism dimana ilmu pengetahuan,
filsafat dan ideology berkembang dengan pesat.
Pemikiran Rene
Descartes (1596-1650) berjasa merehabilitasi, mereotonomisasi rasio yang telah
sekian lama (kurang lebih seribu tahun) dijadikan hamba sahaya keimanan.
Diktumnya yang sampai sekarang masih terasa menggetarkan berbunyi “cogito ergo sum”, “aku berpikir maka aku
ada”. Rasio adalah sumber satu-satunya bagi pengetahuan, kesan-kesan inderawi
yang dianggap sebagai ilusi hanya bisa diatasi oleh kemampuan yang dimiliki
rasio seperti aliran rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes.
Rasionalisme
ditentang oleh para penganut empirisme seperti David Hume (1711-1776), John
Loccke (1632-1704) dan George Berkeley (1685-1753), yang mana empirisme
merupakan aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan didapatkan dari
pengalaman lewat pengamatan empiris bukan semata-mata penalaran deduksi.
Immanuel Kant
(1724-1804) berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme.
Kant mengatakan bahwa kedua aliran tersebut terlalu ekstrim dalam memahami
sumber pengetahuan. Kant mengatakan rasio dan empiris adalah sama-sama sumber
pengetahuan dimana kesan-kesan empiris dikonstruksikan oleh rasio manusia
melalui kategori-kategori menjadi pengetahuan.
d. Positivisme
(Abad ke 20)
Pandangan dunia empirisme yang obyektif
dalam memandang pengetahuan tersebut mengalami puncaknya pada aliran filsafat
yang dikenal dengan nama positivisme yang dipelopori oleh August Comte
(1798-1857). Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad
20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu
maupun alam yang disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Kriteria-kriteria
adalah eksplanatoris dan prediktif. Demi terpenuhinya kriteria-kriteria
tersebut maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai
berikut:
1) Objektif,
teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai
2) Fenomenalisme,
ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang teramati. Substansi
metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan
disingkirkan.
3) Reduksionisme,
semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati.
4) Naturalisme,
alam semesta adalah obyek-obyek yang bergerak secara mekanis seperti jam.
Positivisme memiliki pengaruh yang kuat terhadap
berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa ini. Pengaruh tersebut dikarenakan
klaim-klaim yang dikenakan positivisme
terhadap ilmu pengetahuan.
e. Alam
simbolis
Positivisme telah mereduksi kekayaan
pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris. Prinsip bebas nilai positivisme
telah membuat ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan. Positivisme telah
mengakibatkan keringnya semesta dari kekayaan batin yang tak terhingga, semesta
telah didesakralisasi. Tahapan filsafat yang terakhir ini merupakan reaksi
keras terhadap positivisme terutama pada asumsi kesatuan metode untuk baik
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu manusia. Metode positivistik mengasumsikan
bahwa obyek-obyek alam maupun manusia bergerak secara determistik mekanis.
Manusia lebih dari sekedar benda mati yang bergerak semata-mata berdasarkan
stimulant dan respon, rangsangan dan reaksi, sebab dan akibat (behaviourisme).
Manusia, menurut Ernest Cassirer, adalah
makhluk simbolik (animal simbolism) yang memiliki substratum simbolik dalam
benaknya hingga mampu memberi jarak antara rangsangan dan tanggapan.
Distansiasi (refleksi) tersebut melahirkan apa yang disebut sistem-sistem simbolis
seperti ilmu pengetahuan, seni, religi, dan bahasa.
G.
PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,
masdar dari ‘alima– ya’lamu yang
berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggris ilmu biasanya dipadankan
dengan kata science,
sedangkan pengetahuan dengan knowledge.
Dalam bahasa Indonesia kata science (berasal dari bahasa latin dari kata scio, scire yang berarti tahu) umumnya
diartikan ilmu tapi sering juga diartikan dengan ilmu pengetahuan, meskipun
secara konseptual mengacu pada makna yang sama (Suhasraputra, 2004: 44).
Ilmu pengetahuan (science)
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense). Menurut
Dr. Moh. Hatta dalam Anshari (1987: 43) dikatakan bahwa “pengetahuan yang
didapat dari pengalaman disebut pengetahuan
pengalaman atau ringkasnya pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dengan
jalan keterangan disebut ilmu”.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan
empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan
akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun
itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai ilmu
pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah
hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan
kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian
secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian
diterima secara universal. Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara
para ahli terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara
kritis atau telah dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka
konseptual tersebut.
Dalam Hamdani (2011: 100-101) dikatakan bahwa untuk
lebih memahami pengertian ilmu (science)
akan dikemukakan beberapa pengertian:
1. Ilmu adalah pengetahuan tentang
sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
2. The Liang Gie mengemukakan tiga sudut
pandang berkaitan dengan pemaknaan ilmu/ilmu pengetahuan yaitu :
a. Ilmu sebagai pengetahuan, artinya
ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis, atau sebagai kelompok pengetahuan
teratur mengenai pokok soal atau subject
matter.
b. Ilmu sebagai aktivitas, artinya suatu
aktivitas mempelajari sesuatu secara aktif, menggali, mencari, mengejar atau
menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh. Jadi ilmu sebagai aktivitas
ilmiah dapat berwujud penelaahan (study),
penyelidikan (inquiry), usaha
menemukan (attempt to find), atau
pencarian (search)
c. Ilmu sebagi metode, artinya ilmu pada
dasarnya adalah suatu metode untuk menangani masalah-masalah, atau suatu
kegiatan penelaahan atau proses penelitian yang mana ilmu itu mengandung
prosedur, yakni serangkaian cara dan langkah tertentu yang mewujudkan pola
tetap. Rangkaian cara dan langkah ini dalam dunia keilmuan dikenal sebagai
metode.
3. Harsoyo mendefinisikan ilmu dengan
melihat pada sudut proses historis dan pendekatannya yaitu :
a. Ilmu merupakan akumulasi pengetahuan
yang disistematiskan atau kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan
b. Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu
pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu
dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya
dapat diamati oleh pancaindra manusia.
Dari pengertian di atas nampak bahwa ilmu memang
mengandung arti pengetahuan, tapi bukan sembarang pengetahuan melainkan
pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis, dan
untuk mencapai hal itu diperlukan upaya mencari penjelasan atau keterangan.
Lebih jauh dengan memperhatikan pengertian-pengertian
ilmu sebagaimana diungkapkan di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
berkaitan dengan pengertian ilmu yaitu:
1. Ilmu adalah sejenis pengetahuan
2. Tersusun atau disusun secara
sistematis
3. Sistematisasi dilakukan dengan
menggunakan metode tertentu
4. Pemerolehannya dilakukan dengan cara
studi, observasi, eksperimen.
Dengan demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan
biasa dapat menjadi suatu pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara
sistematis serta mempunyai metode berfikir yang jelas, karena pada dasarnya
ilmu yang berkembang dewasa ini merupakan akumulasi dari pengalaman/pengetahuan
manusia yang terus difikirkan, disistimatisasikan, serta diorganisir sehingga
terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhasan dalam objeknya.
Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science). Perbedaan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Pengetahuan (Common
Sense) dan Ilmu Pengetahuan (Science)
No.
|
Pengetahuan (common sense)
|
Ilmu Pengetahuan (science)
|
1.
|
Informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan
tentang mengapa dan bagaimana. Common
sense tidak melakukan pengujian
kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain.
|
Informasi tentang suatu fakta memerlukan uraian yang
sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat
dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip
atau dalil-dalil yang berlaku.
|
2.
|
Cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan
muatan-muatan emosi dan perasaan.
|
Berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam
penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk
menyempurnakan teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
|
3.
|
Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap
|
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh
pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada
pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat
diperbaharui atau diganti.
|
4.
|
Common sense biasanya mengandung pengertian
ganda dan samar-samar.
|
Ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang
harus dapat diverifikasi secara empirik.
|
5.
|
Dalam common sense
cara mendapatkan pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera
|
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu
pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan,
eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga
menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi, dan
verifikasi
|
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh
tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau
teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara
kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan
demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal. Sedang pengetahuan
adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat
bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian
tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
H.
CIRI-CIRI ILMU PENGETAHUAN
Secara umum dari pengertian ilmu dapat diketahui apa
sebenarnya yang menjadi ciri dari ilmu, meskipun untuk tiap definisi memberikan
titik berat yang berlainan. Menurut The Liang Gie secara lebih khusus
menyebutkan ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
1. Empiris (berdasarkan pengamatan dan
percobaan)
Ilmu perlu dasar empiris, apabila
seseorang memberikan keterangan ilmiah maka keterangan itu harus memmungkintan
untuk dikaji dan diamati, jika tidak maka hal itu bukanlah suatu ilmu atau
pengetahuan ilmiah, melainkan suatu perkiraan atau pengetahuan biasa yang lebih
didasarkan pada keyakinan tanpa peduli apakah faktanya demikian atau tidak.
2. Sistematis (tersusun secara logis
serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)
Untuk memudahkan pengkajian, ilmu
pengetahuan harus tersusun mulai yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
Konsep yang mendasari harus mengandung hubungan sedemikian rupa yang saling
mendukung dan bukan saling bertentangan.
3. Objektif (terbebas dari persangkaan
dan kesukaan pribadi)
Ilmu juga harus objektif dalam arti
perasaan suka-tidak suka, senang-tidak senang harus dihindari, kesimpulan atau
penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap
orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan pribadi yang
ada pada saat itu.
4. Analitis (menguraikan persoalan
menjadi bagian-bagian yang terinci)
Analitis artinya penjelasan ilmiah
perlu terus mengurai masalah secara rinci sepanjang hal itu masih berkaitan
dengan dunia empiris. Kajian sebuah ilmu pengetahuan akan menuju hal-hal yang
lebih khusus seperti bagian, sifat, peranan dan berbagai hubungan. Untuk
memahami hal yang bersifat khusus perlu pengkajian secara khusus pula,
sehingga terdapat antar hubungan bagian
yang dikaji sebagai hasil analisa. Oleh karena itu, sebuah ilmu akan terbagi
menjadi berbagai cabang ilmu dengan kajian yang lebih khusus.
5. Verifikatif (dapat diperiksa
kebenarannya)
Verifikatif berarti bahwa ilmu atau
penjelasan ilmiah harus memberi kemungkinan untuk dilakukan pengujian di
lapangan sehingga kebenarannya bisa benar-benar memberi keyakinan. Kebenaran
dalam ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak tetapi bersifat terbuka atau
verifikatif yang juga dikenal dengan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, sesuatu
yang semula dianggap benar suatu saat mungkin menjadi salah bila ditemukan
bukti-bukti baru yang menentang kebenaran sebelumnya
Ciri-ciri ilmu yang lain adalah:
1. Memiliki objek
Pada umumnya setiap ilmu membatasi
diri pada segi kajian tertentu. Misalnya matematika mengkaji pada objek
angka-angka, fisika pada objek benda-benda fisik, kimia berupa zat-zat penyusun
dan reaksi yang terjadi, dan biologi memfokuskan pada objek makhluk hidup yang
ada maupun yang pernah ada di dunia ini.
2. Memiliki metode
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak
terjadi secara kebetulan ataupun asal jadi, tetapi selalu mengikuti metode
tertentu.
3. Universal
Kebenaran yang disajikan dalam ilmu
pengetahuan harus berlaku secara umum.
I.
OBJEK ILMU PENGETAHUAN
Setiap ilmu mempunyai objeknya sendiri-sendiri, objek
ilmu itu sendiri akan menentukan tentang kelompok dan cara bagaimana ilmu itu
bekerja dalam memainkan perannya melihat realitas. Secara umum objek ilmu
adalah alam dan manusia, namun karena alam itu sendiri terdiri dari berbagai
komponen, dan manusiapun mempunyai keluasan dan kedalam yang berbeda-beda, maka
mengklasifikasikan objek amat diperlukan. Terdapat dua macam objek dari ilmu
yaitu objek material dan objek formal.
Objek material adalah seluruh bidang atau bahan yang
dijadikan telaahan ilmu, sedangkan objek formal adalah objek yang berkaitan
dengan bagaimana objek material itu ditelaah oleh suatu ilmu, perbedaan objek
setiap ilmu itulah yang membedakan ilmu satu dengan lainnya terutama objek
formalnya. Misalnya ilmu ekonomi dan sosiologi mempunyai objek material yang
sama yaitu manusia, namun objek formalnya jelas berbeda, ekonomi melihat
manusia dalam kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan
sosiologi dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia.
J.
FUNGSI DAN TUJUAN ILMU PENGETAHUAN
Lahirnya dan berkembangnya ilmu pengetahuan telah
banyak membawa perubahan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan makin
intensnya penerapan ilmu dalam bentuk teknologi yang telah menjadikan manusia
lebih mampu memahami berbagai gejala serta mengatur Kehidupan secara lebih
efektif dan efisien. Hal itu berarti bahwa ilmu mempunyai dampak yang besar
bagi kehidupan manusia, dan ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilmu itu
sendiri
Ilmu mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan
manusia. Ilmu dapat membantu untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan
memprediksi berbagai kejadian baik yang bersifat kealaman maupun sosial yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap masalah yang dihadapi manusia selalu
diupayakan untuk dipecahkan agar dapat dipahami, dan setelah itu manusia
menjadi mampu untuk mengaturnya serta dapat memprediksi (sampai batas tertentu)
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan pemahaman yang
dimilikinya, dan dengan kemampuan prediksi tersebut maka perkiraan masa depan
dapat didesain dengan baik meskipun hal itu bersifat probabilistik, mengingat
dalam kenyataannya sering terjadi hal-hal yang bersifat unpredictable.
Dengan dasar fungsi
tersebut, maka dapatlah difahami tentang tujuan dari ilmu, apa sebenarnya yang
ingin dicapai oleh ilmu. Sheldon G. Levy menyatakan bahwa tujuan dari ilmu
adalah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia,
di samping untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri
pada dasarnya merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu sehingga dapat
diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian dapat
dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah
teruji kebenarannya (Suhasraputra, 2004: 50-52).
K.
STRUKTUR ILMU PENGETAHUAN
Struktur ilmu menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistematisir
dalam suatu lingkungan (boundaries),
di mana keterkaitan antara unsur-unsur tampak secara jelas. Menurut Savage
& Amstrong, struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan antara fakta, konsep
serta generalisasi, keterkaitan tersebut membentuk suatu bangun struktur ilmu,
sementara itu menurut H.E. Kusmana struktur ilmu adalah seperangkat pertanyaan
kunci dan metoda penelitian yang akan membantu memperoleh jawabannya, serta
berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik yang
khas yang akan mengantar kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin
ilmu yang bersangkutan.
Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa
terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu yaitu:
1. A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori
yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya
2. A mode of inquiry. Atau cara pengkajian/penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian
guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang
berhubungan, dari mulai yang konkrit yaitu fakta sampai level yang abstrak
yaitu teori, makin ke fakta makin spesifik, sementara makin mengarah ke teori
makin abstrak karena lebih bersifat umum.
L.
PENGELOMPOKAN ILMU PENGETAHUAN
Semakin lama pengetahuan manusia semakin berkembang,
demikian juga pemikiran manusia semakin tersebar dalam berbagai bidang
kehidupan, hal ini telah mendorong para ahli untuk mengklasifikasikan ilmu ke
dalam beberapa kelompok dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri, namun secara
umum pembagian ilmu lebih mengacu pada obyek formal dari ilmu itu sendiri. Pada
tahap awal perkembangannya ilmu terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Trivium yang terdiri dari:
a. gramatika, tata bahasa agar orang
berbicara benar
b. dialektika, agar orang berfikir logis
c. retorika, agar orang berbicara indah
2. Quadrivium yang terdiri dari:
a. aritmetika, ilmu hitung
b. geometrika, ilmu ukur
c. musika, ilmu musik
d. astronomis, ilmu perbintangan
Pembagian tersebut di atas pada dasarnya sesuai dengan
bidang-bidang ilmu yang menjadi telaahan utama pada masanya, sehingga ketika
pengetahuan manusia berkembangan dan lahir ilmu-ilmu baru maka pembagian
ilmupun turut berubah. Mohammad Hatta membagi ilmu pengetahuan ke dalam :
1. Ilmu alam (terbagi dalam teoritika
dan praktika)
2. Ilmu sosial (juga terbagi dalam
teoritika dan praktika)
3. Ilmu kultur (kebudayaan)
Sementara itu Stuart Chase membagi
ilmu pengetahuan sebagai berikut :
1. Ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural
sciences)
a. biologi
b. antropologi fisik
c. ilmu kedokteran
d. ilmu farmasi
e. ilmu pertanian
f. ilmu pasti
g. ilmu alam
h. geologi
i.
dan
lain sebagainya
2. Ilmu-ilmu kemasyarakatan
a. Ilmu hukum
b. Ilmu ekonomi
c. Ilmu jiwa sosial
d. Ilmu bumi sosial
e. Sosiologi
f. Antropologi budaya dan sosial
g. Ilmu sejarah
h. Ilmu politik
i.
Ilmu
pendidikan
j.
Publisistik
dan jurnalistik
k. Dan lain sebagainya
3. Humaniora
a. Ilmu agama
b. Ilmu filsafat
c. Ilmu bahasa
d. Ilmu seni
e. Ilmu jiwa
f. Dan lain sebagainya
A.M. Ampere berpendapat bahwa pembagian ilmu
pengetahuan sebaiknya didasarkan pada objeknya atau sasaran persoalannya, dia
membagi ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
1. ilmu yang cosmologis, yaitu ilmu yang
objek materilnya bersifat jasad, misalnya fisika, kimia dan ilmu hayat.
2. ilmu yang noologis, yaitu ilmu yang
objek materilnya bersifat rohaniah seperti ilmu jiwa.
August Comte membagi ilmu atas dasar kompleksitas
objek materilnya yang terdiri dari :
1. ilmu pasti
2. ilmu binatang
3. ilmu alam
4. ilmu kimia
5. ilmu hayat
6. sosiologi
Herbert Spencer, membagi ilmu atas dasar bentuk
pemikirannya/objek formal, atau tujuan yang hendak dicapai, dia membagi ilmu ke
dalam dua kelompok yaitu :
1. Ilmu murni (pure science). Ilmu murni adalam ilmu yang maksud pengkajiannya
hanya semata-mata memperoleh prinsi-prinsip umum atau teori baru tanpa
memperhatikan dampak praktis dari ilmu itu sendiri, dengan kata lain ilmu untuk
ilmu itu sendiri.
2. Ilmu terapan (applied science), ilmu yang dimaksudkan untuk diterapkan dalam
kehidupan paraktis di masyarakat.
Pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas mesti
dipandang sebagai kerangka dasar pemahaman, hal ini tidak lain karena
pengetahuan manusia terus berkembang sehingga memungkinkan tumbuhnya ilmu-ilmu
baru, sehingga pengelompokan ilmu pun akan terus bertambah seiring dengan
perkembangan tersebut, yang jelas bila dilihat dari objek materilnya ilmu dapat
dikelompokan ke dalam dua kelompok saja, yaitu ilmu yang mengkaji/menelaah alam
dan ilmu yang menelaah manusia, dementara variasi penamaannya tergantung pada
objek formal dari ilmu itu sendiri.
M.
PERBEDAAN
FILASAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN
Filsafat
dan ilmu pengetahuan jelas berbeda karena filsafat membuat asumsi, sedangkan
ilmu pengetahuan dibangun atas dasar asumsi tersebut (Wiramihardja, 2007:25). Cabang filsafat
yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat pokok persoalan pengetahuan
seperti keabshan, struktur, batasa, dan sumber
adalah epistemologi. Epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan adalah dua
cabang filsafat yang mengkaji permasalahan seputar pengetahuan.
Perbedaan
antara kedua disiplin filsafat tersebut terletak pada objek kajiannya yakni
pengetahuan.
Pengetahuan yang
dikaji pada epistemologi adalah pengetahuan dalam arti seluas-luasnya termasuk pengetahuan sehari-hari. Sedangkan filsafat ilmu
pengetahuan berurusan dengan pengetahuan ilmiah atau sains guna membedakannya
dari pengetahuan sehari-hari. Pemilahan tersebut juga melibatkan permasalahan
metodologis, kebenaran ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan sehari-hari
dimana kebenaran sains memerlukan cara kerja yang ketat untuk memperolehnya.
Filsafat ilmu
pengetauan dan epistemologi tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Filsafat
ilmu pengetahuan mendasarkan dirinya pada epistemologi khususnya persoalan
keabsahan pengetahuan. Keabsahan pengetahuan dibagi menjadi tiga teori
kebenaran yakni korespondensi, koherensi, dan pragmatis.
1.
Korespondensi
Korenspondensi
mensyaratkan adanya keselarasan antara ide dengan semesta luar. Kebenaranya
bersifat empiris-induktif. Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris
seperti: fisika, kimia, biologi, sosiologi.
2.
Koherensi
Koherensi
mensyaratkan adanya keselarasan antara pernyataan logis, kebenarannya bersifat
formal-deduktif. Koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika
dan logika.
3.
Pragmatis
Pragmatis
mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya
bersifat fungsional. Pragmatis menghasilkan ilmu kedokteran.
Perbedaan filsafat dengan ilmu
pengetahuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
No.
|
Filsafat
|
Ilmu pengetahuan
|
1.
|
Filsafat
mengunakan penalaran yang kritis, refleksi, dan integral
|
Ilmu
pengetahuan tidak bersifat kritis dalam menyikapi alam semesta dan cenderung
terkotak-kotak dalam objek penelitiannya masing-masing.
|
2.
|
Filsafat
tidak pernah berhenti pada penampakan saja melainkan secara kritis
menembusnya demi mencapai hakikat yang paling mendalam.
|
Ilmu
pengetahuan hanya mencoba menerangkan gejala-gejala alam secara alamiah.
|
3.
|
Dalam usaha
mencapai hakikat banyak sekali metode-metode yang digunakan dalam filsafat
seperti metode kritis, metode intuitif, metode geometris, metode
fenomenologis dan sebagainya.
|
Ilmu
pengetahuan mengunakan metode. Metode
ilmu pengetahuan adalah langkah-langkah dalam satu urutan metodologis yang
ketat demi mendapatkan penjelasan yang seobjektif mungkin tentang semesta.
|
4.
|
Objek kajian
filsafat adalah semesta alam dalam arti seluas-luasnya.
|
Tujuan ilmu
pengetahuan bukan mencapai hakikat yang mendasar dari alam semesta melainkan
hanya mencoba menjelaskan gejala-gejala secara relasional.
|
5.
|
Filsafat
selalu bersifat menyeluruh dalam memandang semesta.
|
Ilmu
pengetahuan telah terspesialisasi menjadi disiplin-disiplin yang satu sama
lain seakan-akan tidak ada sangkut pautnya.
|
N.
HUBUNGAN FILSAFAT DAN ILMU
PENGETAHUAN
Hubungan ilmu dengan filsafat pada mulanya ilmu yang
pertama kali muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat.
Dan filsafat merupakan induk dari segala ilmu karena berbicara tentang
abstraksi/sebuah yang ideal. Filsafat tidak terbatas, sedangkan ilmu terbatas
sehingga ilmu menarik bagian filsafat agar bisa dimengerti oleh manusia.
Pada hakikatnya filsafat dan ilmu saling terkait satu
sama lain, keduanya tumbuh dari sikap refleksi, ingin tahu, dan dilandasi
kecintaan pada kebenaran. Filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan
keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mampu mempertanyakan asumsi,
kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri. Ilmu merupakan masalah yang hidup
bagi filsafat dan membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual
yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Filsafat dapat memperlancar
integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Filsafat adalah meta ilmu,
refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan interpretasi baik dari
ilmu maupun bidang-bidang lain.
Ilmu merupakan konkritisasi dari filsafat. Filsafat
dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu,
filsafat memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan dapat dirumuskan secara
sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh
fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksi, integral, radikal, logis,
sistematis, dan universal (kesemestaan).
Sebagai fenomena ilmu filsafat dapat dilihat dari tema
besarnya, yaitu, ontologi (definisi, pengertian, konsep, mengkaji keberadaan
sesuatu, membahas tentang ada, yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual,
transendental, atau pun metafisis), epistemologi (substansi, membahas
pengetahuan yang akan dimiliki manusia apabila manusia itu membutuhkannya), dan
aksiologi (manfaat, membahas kaidah
norma dan nilai yang ada pada manusia) (Hamid, 2013).